Minggu, 16 Desember 2018

KONVERGENSI MEDIA

RESENSI BUKU



JUDUL               : KONVERGENSI MEDIA             
PENULIS           : DUDI ISKANDAR
TEBAL               : 333 Halaman                                            
PENERBIT        : ANDI
TAHUN              : 2018                  





NAMA       :  SHEILA RAHAYU NURANI
NIM            : 1871511216


1. KONVERGENSI MEDIA (Halaman 1)
            Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi,dan bahkan bermetamorfosis. Roger Fiddler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediaformosis. Media morfosis memiliki tiga konsep yaitu: koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Jika sebelumnya setiap jenis media massa berdiri sendiri atau memiliki orgnisasi dn manajemen mandiri, kni mereka bergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan konvergensi.
            Konvergensi media adalah konsep yang ambiguitas. Istilah ini dipergunakan secara berbeda. Disatu sisi, ia sebagai tempat bertemu (jaringan, berkumpul, termasuk untuk wilayah social) dan apa yang terjadi ketika suatu itu dikumpulkan (kompleksitas berita/peristiwa).  Teoritikus konvergensi media Henry Jenkins mendefinisikankonvergensi sebagai penyatu yang terus-menerus terjadi diantara berbagai bagian media seperti tekhnologi, industry, konten, dan khalayak. Selain itu, Burnett and Marshall mendefinisikan konvergensi sebagai penghubungan industry media, telekomunikasi dan computer menjadi sebuah bentuk yang bersatu dan berfungsi sebagai media komunikasi dalam bentuk digital. Senada dengan dua definisi diatas, Key concepts in jurnslism studies menegaskan konvergensi media adalah pertukaran media diantara semua media yang berbedakarateristik dan platform-nya.
            Konergensi media memungkinkan satu group perusahaan selain memiliki media konvensional, juga termasuk media social, misalnya Kompas Group, memiliki Kompasiana. Konvergensi juga mrupakan aplikasi dari teknologi digital, yaitu intergrasi teks,suara, angka, dan gambar; berita diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Dailey, Demo, dan Spillman menjelaskan aktivitas konvergensi media meliputi antara lain cross-promotion (lintas promosi), cloning (penggadaan), coopetition (kolaborasi), content sharing (berbagi isi), dan full convergence (penyatuan).
Konvergensi media ternyata bukan hanya berpengaruh pada perubahan proses jurnalistik, tetapi juga menyangkut ke berbagai aspek kehidupan. Ia akan berdampak pada konsumsi media masyarakat, persepsi public, penyebaran informasi, dan literasi media. Singat kata, konvergensi mdia bakal menghadirkan konstruksi social media baru yang belum pernahterjadi sebelumnya.






2. MEDIA SEBAGAI IDEOLOG DAN AKTOR POLITIK (Halaman 217)
            Dalam teori wacana Michel Foucault, ada beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada istilah, ada juga istilah episteme, kuasa, pengetahuan, arkeologi, dan genealogi. Istilah-istilah itu sulit dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Dalam wacana Foucault, istilah-istilah tersebut kerap berkelindan, saling silang, dan berebut muncul ke permukaan. Wacana merupakan kumpulan pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang bersifat plural, produktif, dan menybar serta dikonstruksi dengan cara stimulasi.
Epistemology yangberkenaan dengan praktik wacana dan aturan main yang berada di baliknya adalah yang dikenal dengan arkeologi pengetahuan. sementara itu, genalogi menjadi model analisis yang melihat relasi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam satu bingkai wacana dalam satu situasi dan kondisi tertentu. Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat lima wacana yang diangkat, wacana-wacana itu adalah kecurangan kampanye pilpres, dugaan pelanggaran HAM Prabowo, debat capres-cawapres, koser salam 2 jari, dan keberpihkan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kelima wacana itu merupakan representasi dari pola piker redaksi Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup sebagai subjek atau pemroduksi wacana (level meso dalam konsep Norman Fairclough).
Kekuasaan versi Foucault yang menyebar melalui bahasa dari berbagai sector membentuk wacana yang dibuat oleh beragam media. Inilah yang disebut representasi ideology kekuasaan dalam konvergensi media seperti yang dipaparkan John B. Thompson. Ideology adalah makna yang dipakai untuk kekuasaan. Model umum yang dilakukan sebuah ideology adalah legitimas, penipuan, dan fragmentasi.
Seperti Foucault wacana bersifat ideologis karena menyimpan sesuatu yang tersembunyi. Artinya, selain mengonstuksi wacana, melalui berita juga menyimpan agenda ideology media seperti yang disebutkan juga oleh John B. Thomas, bahwa ideology memiliki tiga perangkat, yakni system keyakinan yang menandai kelas tertentu , suatu system keyakinan ilusioner, dan proses umum produksi makna dan gagasan. Ideology memiliki tiga tempat bersemayam, yakni di dalam bahasa, teks, dan representasi ; kelembagaan material dan seluruh praktiknya; serta di setiap afeksi dan kognisi sesorang.


3. POST – JOURNALISM ( Halaman 249 )
          Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan jurnaisme harus menyesuaikan dirinya. Model keberagaman dalam kerja jurnalistik inilah bisa dipotret sebagai cikal bakal fenomena post-jurnalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-truth. Amus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai kondisi ketika fakta -dalam jurnalistik- tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini public disbanding emosi dan keyakinan personal.
            Dalam konteks hubungan media dengan jurnalistik politik realitas, kepentingan public sangat sulit dipisahkan dari kepentingan partai politik atau kandidat ketika dibungkus oleh media televise, khususnya. Realitas sudah begitu kompleks, maka apakah betul ini adalah era post-journalism. Inilah era bahwa fakta tidak begitu pening lagi, tetapi yang penting sentiment yang dibangunnya. Dari fakta ke sentiment, jadi yang dibutuhkan adalah efek subjektif.
            Kamus Oxford melanjutkan berdasarkan keterangan editornya, juga penggunaan istilah tersebut  ditahun 2016 meningkat 2000 persen bila disbandingkan 2015. Bahkan pada 2016, post-truth menjadi “Word of the year”tahun 2016. Pemicu terbesar pemakaian istilah post-truth adalah pada dua peristiwa politik, yaitu keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa atau dikenal dengan istilah Brexit dan terpilihnya Donal Trump sebagai presiden Amerika Serikat mengalahkan Hillary Clinton yang lebih dijagokan oleh media.
            Media social paling mudah menyampaikan keriuhan yang menjadi ciri khas post-truth. Didunia jurnalisme berita hoax adalah salah satu indikasi post-truth. Hal ini menunjukkan kegamangan jurnalisme dalam menghadapi realitas politik yang penuh dengan kebohongan dan tipu daya. Dengan demikian, post-truth dan post-jornalism adalah satu jalur berbeda nama.

            Dalam post-journalism tidak ada standard etika dan moralitas yang bisa dipegang. Realitas jurnalisme ini disebut Agus Sudibyo dengan Nihilisme Moralitas Bermedia. Masyarakat kesulitan membedakan antara berita dan hoax. Dalam post-journalism jurnalisme terjebak dalam kontestasi dengan media social, khususnya dalam proses penyebaran informasi.



Perbedaan media sosial dan jurnalisme 

No.
Aspek
Jurnalisme
Media Sosial
1.
Orientasi
Ketepatan
Kecepatan
2.
Metode
Verifikasi
Histeria
3.
Tujuan
Kebenaran
Kemenangan
4.
Sosial
Pertanggungjawaban
Hit and Run
5.
Ekonomi
Membayar Pajak
Penghasilan Individu
6.
Nilai
Etika dan Moralitas
Fake dan hoax

Kini Indonesia berada di post-journalism. Pertarungan sarkastis, vulgar, dan tuna etika dibidang media bukan tidak mungkn terjadi pada Pilpres 2019, bahkan dengan lebih dahsyat lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar