RESENSI BUKU
IDENTITAS BUKU :
JUDUL : KONVERGENSI MEDIA
PENULIS : DUDI ISKANDAR
TEBAL : 333 Halaman
PENERBIT : ANDI
TAHUN : 2018
NAMA : SHEILA RAHAYU NURANI
NIM : 1871511216
Buku ini menjelaskan tentang perubahan pada media massa yang disebabkan oleh konvergensi media
serta mengupas tuntas teks, praktik wacana, dan praktik jurnalisme kontemporer
dalam konvergensi media. Media yang diangkat oleh penulis pada buku ini yaitu:
Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup. Ketiga media tersebut sama-sama
memproduksi wacana pada Kampanye Pilpres 2014. Pada saat itu realitas jurnalisme
dihiasi kepentingan non-jurnalisme (kepentingan politik), sehingga kampanye
pilpres tersebut tidak berjalan dengan adil, netral, dan objektif karena telah
banyak data yang di palsukan oleh media untuk mengamankan politik pilihannya.
Buku ini terlalu padat
dengan tulisan sehingga mebuat pembaca bosan, namun untuk tulisannya
menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pembaca. Buku ini bagus untuk
referensi tugas kuliah.
KONVERGENSI MEDIA
Media massa mengalami
beberapa tahap perubahan,
transformasi,dan bahkan bermetamorfosis. Roger Fiddler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediaformosis. Mediamorfosis memiliki tiga konsep yaitu: koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Jika sebelumnya setiap jenis media massa berdiri sendiri atau memiliki organisasi dan manajemen mandiri, kini mereka bergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan konvergensi.
transformasi,dan bahkan bermetamorfosis. Roger Fiddler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediaformosis. Mediamorfosis memiliki tiga konsep yaitu: koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Jika sebelumnya setiap jenis media massa berdiri sendiri atau memiliki organisasi dan manajemen mandiri, kini mereka bergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan konvergensi.
Konvergensi media
adalah konsep yang ambiguitas. Istilah ini dipergunakan secara berbeda. Di satu
sisi, ia sebagai tempat bertemu (jaringan, berkumpul termasuk untuk wilayah social).
Konvergensi bukan hanya penyatuan konten, sebuah peristiwa bisa muncul di
berbagai media yang berada dalam satu perusahaan. Tetapi juga penyatuan dalam
satu induk perusahaan media. Seperti MNC Grup, contohnya, menaungi MCTV, Koran Sindo, Sindo News.com.
Selain MNC Grup yang sudah melakukan konvergensi secara lengkap (cetak,
elektronik, dan situs), adalah Kompas Grup dan Media Grup. Kompas Grup
membawahi Koran Kompas, Kompas.com,
dan Kompas Tv, sementara itu, Media
Grup membawahi surat kabar Media
Indonesia, Metro TV, dan MetroTVnews.com. Grup Media Lain seperti Tempo memiliki blog.tempo, Detik.com memiliki forumdetik.com,
dan sebagainya.
Konvergensi media ternyata
bukan hanya berpengaruh perubahan proses jurnalistik, tetapi juga berpengaruh
pada aspek kehidupan. Singkat kata, konvergensi media bakal menghadirkan
konstruksi social media baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak cara
yang dilakukan media dalam memproduksi wacana, antara lain: signing (penggunaan tanda-tanda bahasa,
baik verbal maupun non vebal), framing (pemilih
wacana berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek wacana), priming (mengatur ruang dan waktu untuk mempublikasikan wacana
dihadapan khalayak). Tiga strategi itu kian memperkuat efek, pengaruh, dan juga
makna siaran, tayangan, dan tulisan yang diprouksi konvergensi media terhadap
masyarakat.
- KONVERGENSI MEDIA DI INDONESIA
1.
Kompas Grup
Cikal bakal
kompas group adalah harian kompas yang pertama kali terbit 28 Juni 1965. Kompas.com pertama kali hadir pada
tanggal 14 September 1995 dengan nama kompas
online. Menurut Ibnu Hamad, ada tiga strategi dan gaya kompas dalam
mengupas sesuatu yang positif, yaitu: Model Jalan Tengah (MJT), Model Angin
Surga (MAS), Model Anjing Penjaga (MAP).
2.
Media Grup
Media Group
bermula dari harian media Indonesia
yang kini merupakan Koran nasional. Koran Media
Indonesia terbit sejak 19 Januari 1970. Awalnya Media Indonesia terdiri dari empat halaman dengan tiras yang masih
terbatas.
3.
MNC Grup
PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC), hingga kini
mengoprasikan empat (RCTI, MNCTV,
GlobalTV, iNews TV) dari 11 stasiun free-to-air
dan memiliki bisnis inti dalam memproduksi dan mendistribusikan isi berita
televisi.
MEDIA SEBAGAI IDEOLOG DAN
AKTOR POLITIK
AKTOR POLITIK
Teori wacana Michel Foucault, ada
beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada juga isilah episteme, kuasa, pengetahuan arkeologi, dan genealogi. istilah-istilah tersebut sulit dipisahkan, tetapi
dapat dibedakan. Epistemologi yang berkenanaan dengan praktik wacana dan aturan main yang berada di
baliknya adalah yang dikenal dengan arkeologi pengetahuan. Sementara itu, genealogi
menjadi model analisis yang melihat relasi antara pengetahuan dan kekuasaan
dalam satu bingkai wacana dala satu
situasi dan kondisi tertentu. Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat lima
wacana yang diangkat dalam penelitian ini menentukan signifikansinya.
Wacana-wacana itu adalah kecurangan Kampanye Pilpres, dugaan HAM Prabowo, Debat
Capres-Cawapres, Konser Salam 2 Jari, dan keberpihakan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Ideologi adalah makna yang dipakai
untuk kekuasaan. Kekuasaan versi Foucault yang menyebar melalui bahasa
dari berbagai sector membentuk wacana yang dibuat oleh beragam media. Inilah
yang disebut representasi ideology kekuasaan dalam konvergensi media seperti
yang dipaparkan John B. Thompson. Model umum yang dilakukan sebuah ideologi adalah legitimasi, penipuan, dan fragmentasi. Wacana bersifat ideologis
Karena menyimpan sesuatu yang tersembunyi. Artinya, selain mengonstruksi
wacana, melalui berita juga menyimpan agenda ideologi media seperti yang
disebukan juga oleh John B Thomas, bahwa ideologi memiliki tiga perangkat,
yakni: system keyakinan yang menandai kelas tertentu, suatu system keyakinan ilusioner,
dan proses umum produksi makna dan gagasan. Ideologi memiliki tiga tempat
bersemayam: didalam bahasa, teks, dan
representasi, kelembagaan material dan seluruh prakiknya, serta disetiap afeksi dan kognisi seseorang.
representasi, kelembagaan material dan seluruh prakiknya, serta disetiap afeksi dan kognisi seseorang.
- Kontestasi Media
Pada kampanye pilpres 2014 sangat terasa
pilihan-pilihan politik media terhadap pasangan tertentu. Artinya media akan
melindungi pilihannya dengan berita yang positive. Misalnya Media A berpihak
kepada paslon B, maka Media A akan menutupi segala berita-berita negative yang
berhungan dengan paslon B.
Sebenarnya keberpihakan media terhadap partai politik atau kandidat tertentu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di luar negeri
pun sama saja. Banyak media yang memilih dan berafiliasi dengan partai politik
atau simpatisan kandidat tertentu. Inilah salah satu risiko media dikuasai pedagang
dan politisi. Hal yang harus dicermati adalah pergeseran penerapan kode etik
jurnalistik pada anggota grup-grup media tersebut.
POST JURNALISM
Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang
lebih baru yang menyebabkan jurnalisme harus menyesuaikan dirinya. Artinya,
pada saat ini para jurnalisme harus bisa bersaing dengan teknologi komunikasi
(online) karena masyarakat saat ini lebih banyak menggunakan media online untuk
mendapatkan segala informasi.
Realitas jurnalisme ketika kampanye Pilpres 2014 yang
menjadi objek penelitian menunjukkan bahwa ragam terhadap fakta sudah menjadi
sesuatu yang biasa. Model keberagaman dalam kerja jurnalistik inilah bsa di
potret sebagai cikal bakal fenomena post-journalism.
Istilah ini berangkat dan berakar dari post-truth.
Kamus Oxford mendefinisikan post-truth
sebagai kondisi ketika fakta –dalamjurnalistik- tidak terlalu berpengaruh dalam
membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.
Dalam konteks hubungan media dengan jurnalistik
politik realitas, khususnya kepentingan publik sangat sulit dipisahkan dari
kepentingan partai politik atau kandidat ketika di bungkus oleh media televisi.
Kamus Oxford melanjutkan berdasaran keterangan
editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut ditahun 2016 meningkat 2000
persen bila dibandingkan 2015. Bahkan pada 2016, post-truth menjadi “Word of the Year” tahun 2016. Pemicu terbesar
pemakaian istilah post-truthadalah
pada dua peristiwa politik, yaitu keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa atau
dikenal dengan istilah Brexit dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden
Amerika Serikat mengalahkan Hillary Clinton yang lebih dijagokan oleh media.
Media sosial paling mudah menyampaikan keriuhan yang menjadi ciri khas post-truth ini. Di
dunia jurnalisme berita hoax adalah salah
satu indikasi post-truth. Post-truth
dan post-jurnalism adalah satu jalur berbeda nama. Dalam post-jurnalism tidak ada standard etika dan moralitas yang bisa
dipegang. Agus Sudibyo menyebut realitas journalism ini dengan Nihilisme
Moralitas Bermedia. Dalam post-jurnalism,
jurnalisme terjebak dalam kontestasi dengan media sosial, khsusnya dalam
proses penyebaran informasi. Kini Indonesia tengah berada di post-jurnalism.